Novel ini kocak. Saya sampai kaget sendiri saat membaca ke-nyeleneh-an Ninit dalam memainkan setiap karakter (utama)-nya. Tema yang diusung Ninit memang tidak baru, cenderung umum malah, namun ia menuliskannya seperti seorang sutradara mengarahkan para pemainnya. Sutradara komedi romantis, tepatnya.
Arista Natadiningrat yang biasa dipanggil Neng Tata dan menyebut dirinya gua, menikah dengan Rahmat Natadiningrat yang disebut Kakang, dan memanggil dirinya gue. Keduanya sama-sama berusia 30an, cantik, tampan, punya karir bagus, dan punya rumah sendiri (meski di ujung Jakarta). Khas generasi muda metropolis-lah. Masalahnya, di tengah kesempurnaan itu, tersembul masalah kronis: mereka belum punya anak, meski sudah menikah 7 tahun!
Arista Natadiningrat yang biasa dipanggil Neng Tata dan menyebut dirinya gua, menikah dengan Rahmat Natadiningrat yang disebut Kakang, dan memanggil dirinya gue. Keduanya sama-sama berusia 30an, cantik, tampan, punya karir bagus, dan punya rumah sendiri (meski di ujung Jakarta). Khas generasi muda metropolis-lah. Masalahnya, di tengah kesempurnaan itu, tersembul masalah kronis: mereka belum punya anak, meski sudah menikah 7 tahun!
• Dari segi teknik penuturan, TP merupakan lompatan jauh ke depan. Cerita mengalir dengan cepat dan efisien, penyisipan humor lebih murah hati dan cerdas. Bab ke bab diceritakan dari sudut pandang suami dan istri secara bergantian, bikin pembaca ingin cepet-cepet membalik halaman.
• Fluktuasi emosi lebih tajam. Di bagian-bagian tertentu pembaca diajak terharu-biru menyelami perasaan seorang istri yang mengidam-idamkan kehadiran anak, di bagian lain ketawa-ketawa sendiri baca nama-nama ajaib para tokoh yang mengingatkan pada nama-nama tokoh komik Asterix, atau kehadiran tokoh berkepribadian konyol dan basi sebagai penyegar - trademarknya novel-novel Ninit.
• Penokohan karakternya lebih fokus dan kuat. Setelah tutup buku, saya yakin para pembaca akan mampu menjawab pertanyaan "Si Tata / Akang tuh orangnya gimana sih?" .
• Buat yang sering baca blognya Ninit pasti akan menemukan buku ini lebih personal dari KPG. Ada beberapa adegan yang mengingatkan pembaca pada pengalaman mereka yang pernah ditulis di sana.
• Aspek KPG yang kembali muncul di buku ini: pengemasan situasi sedemikian rupa sehingga pembaca berpikir 'gue juga suka gitu tuh' atau 'gue kenal tuh orang yang kaya gitu'.
